Mengurangi Kemiskinan Butuh Kebijakan Tepat - newsmetrontb

Friday, January 24, 2020

Mengurangi Kemiskinan Butuh Kebijakan Tepat

Rapat bersama Badan Pusat Statisitk NTB, Sekretaris Daerah dan kepala kepala OPD di ruang kerja Wakil Gubernur, Jumat (24/01)
Mataram - Penurunan angka kemiskinan yang signifikan di NTB medio Maret hingga September 2019 lalu, disikapi pemerintah propinsi dengan melakukan evaluasi program pengentasan kemiskinan maupun pelaksanaan intervensi pasar menjelang Maret pada tahun ini. Dua hal tersebut dilakukan untuk makin  mengurangi angka penduduk miskin dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Wakil Gubernur NTB, Hj Sitti Rohmi Djalillah meyakini kemiskinan akan berkurang jika dapat mengidentifikasi penyebab kemiskinan di NTB.

“Kita membutuhkan data seperti yang dirilis oleh BPS untuk melakukan treatment (perlakuan) dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi kemiskinan dan kemudian menggunakan data sektoral yang ada di OPD terkait agar tepat sasaran”, ujar Umi Rhomi saat rapat bersama Badan Pusat Statisitk NTB, Sekretaris Daerah dan kepala kepala OPD di ruang kerja Wakil Gubernur, Jumat (24/01).

Menurut data yang dirilis BPS NTB, pada Maret 2019 jumlah penduduk miskin di NTB mencapai 735,96 ribu jiwa atau sebesar 14,56 persen dari jumlah penduduk. Sementara, berdasarkan data September 2019, penduduk miskin NTB turun menjadi 705,68 ribu jiwa (13,88 persen).

Kepala BPS NTB, Suntono menjelaskan, penurunan angka kemiskinan NTB sebesar 0,68 persen menempatkan NTB sebagai provinsi dengan laju penurunan kemiskinan tercepat kedua di Indonesia setelah Papua dengan penurunan mencapai 0,98 persen. Pada September 2019, jumlah penduduk miskin pada daerah perkotaan di NTB tercatat sebesar 365,05 ribu orang atau 14,85 persen. Sementara, penduduk miskin di daerah perdesaan NTB sebesar 340,63 ribu orang atau 12,97 persen.

“Penurunan angka kemiskinan ini adalah hal yang sangat menggembirakan. Namun demikian, kemiskinan adalah sesuatu yang bersifat multidimensi sehingga dibutuhkan kerja bareng semua pihak”, kata Suntono.

BPS sendiri kata Suntono menentukan garis kemiskinan dengan metodologi pendekatan pengeluaran masyarakat dan bukan pendapatan. Ini sesuai dengan survey PBB dan telah dipakai sejak 1998 karena lebih realistis menggambarkan tingkat ekonomi masyarakat dan lebih konsisten jika dilakukan perbandingan dari waktu ke waktu. Hal ini juga sesuai dengan karakteristik negara berkembang seperti Indonesia dimana informasi soal pendapatan lebih sulit karena didominasi oleh sector informal.

Secara sederhana Suntono menggambarkan, tingkat konsumsi masyarakat yang didasarkan pada kemampuan memenuhi sepuluh komoditi kebutuhan dasar. dengan konsumsi terbesar seperti sewa rumah, beras, rokok, kendaraan dan lainnya. Jika sepuluh komoditas ini terpenuhi maka dipastikan tingkat ekonomi masyarakat membaik. Oleh karena itu, lanjut Suntono, inflasi dan kestabilan harga harus terus diupayakan sebagai factor penentu seseorang dikatakan miskin atau tidak selain factor mental dan perilaku konsumsi masyarakat yang harus diperbaiki. “Karena kalau seseorang sudah keluar dari garis kemiskinan akan lebih mudah mengangkatnya dari jebakan kemiskinan karena factor mental dan perilaku seperti konsumsi rokok yang menjadi urutan ketiga dalam daftar konsumsi rutin masyarakat”, tambah Suntono.

Angka penurunan kemiskinan disebabkan beberapa factor diantaranya keberhasilan dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok. Data BPS menunjukkan, hingga Desember 2019, inflasi di NTB hanya mencapai 1,8 persen. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang target inflasi pemerintah di angka 3,5±1 persen. Faktor lain adalah terjaganya Nilai Tukar Petani (NTP). Sebagai daerah dengan mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian, terjaganya NTP ini membuat konsumsi penduduk juga terkatrol. 

Suntono juga menyebutkan NTP NTB yang naik 4,16 persen dalam satu tahun mengindikasikan keberhasilan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa dan masyarakat pertanian NTB.

Faktor Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB juga menjadi penyebab turunnya angka kemiskinan. BPS mencatat, PDRB NTB selama setahun terakhir mencapai Rp120 triliun. Hingga triwulan ketiga 2019, PDRB NTB tumbuh sebesar 5,41 persen. Penyaluran dana desa dan kemajuan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi menjadi salah satu penyumbang signifikan dalam pertumbuhan PRDB NTB.
BPS juga mengungkap catatan mengenai tingkat ketimpangan kaya-miskin yang diukur dengan indeks gini atau gini ratio. Berdasarkan data September 2019, gini ratio di NTB berada di 0,374, turun 0,005 poin jika dibandingkan data Maret 2019 yang sebesar 0,379.

Adapun program pengentasan kemiskinan seperti dikatakan Kepala Dinas Sosial, Dra T Wismaningsih Drajadiah, keluarga penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) maupun bantuan sosial sudah berkurang sebanyak 1877 kepala keluarga dari data 461.460 di 2019. Pada tahun ini ada sebanyak 304.000  KK penerima Bansos sehingga pihaknya akan melakukan asistensi bersama perangkat desa dalam penyalurannya agar lebih maksimal.

Sekretaris Daerah, HL Gita Aryadi menambahkan, hasil asesmen OPD soal kualitas data masih rendah. “ Perlu atensi rilis data dari BPS untuk menentukan langkah. Terkait inflasi dan intervensi pasar, sedini mungkin bisa dideteksi jika terjadi gejolak harga agar treatment tepat”, kata Gita. (jm)

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments