OPINI: “STRESS AKADEMIK DI MASA PANDEMI” - newsmetrontb

Friday, December 10, 2021

OPINI: “STRESS AKADEMIK DI MASA PANDEMI”

Oleh: RAHNI NEVADA

Mahasiswi Program Studi Sosiologi, Universitas Mataram


Sebuah virus baru yang mematikan dan telah menggemparkan dunia yakni virus corona pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019. Penyakit yang ditimbulkan dari virus ini disebut dengan coronavirus disease 2019 (Covid 19). Virus yang hingga sekarang masih menjadi bulan-bulanan dalam pemberitaan di berbagai media ini adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Dahsyatnya kekuatan virus ini menyebabkan virus corona mewabah hingga ke 118 negara dan menginfeksi lebih dari 121.000 orang di berbagai benua seperti di Asia, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika pada awal tahun 2020. Alhasil, World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia telah mengiktikadkan virus ini sebagai pandemi global tepatnya pada tanggal 11 Maret 2020. Pandemi sendiri adalah suatu wabah penyakit yang merebak ke banyak orang di berbagai negara dan terjadi secara bersamaan. Virus corona hingga saat ini penyebarannya terus meningkat secara signifikan dan berkelanjutan secara global. Alasan sebenarnya WHO menetapkan sebuah wabah corona ini menjadi pandemi karena WHO ingin memberikan alarm sebagai pengingat kepada seluruh negara yang ada di dunia untuk tetap siap siaga dalam mencegah maupun menangani wabah corona ini. 

Dengan penetapan pandemi global tersebut, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus selaku Dirjen World Health Organization (WHO) meminta setiap negara untuk menginformasikan kepada seluruh masyarakat akan berbagai resiko yang ditimbulkan dari virus corona dan menghimbau kepada masyarakat untuk melindungi diri semaksimal mungkin. Selain itu beliau meminta untuk mengaktifkan dan meningkatkan tanggap darurat, dan menghimbau agar setiap negara dapat segera menemukan, mengisolasi, menguji, serta merawat pasien covid-19. Tidak hanya itu, ia juga meminta kepada setiap negara untuk melacak semua kontak yang berkaitan dengan pasien covid-19.

Kepelikan pandemi corona ini pada akhirnya pun mendarat di Negeri Zamrud Khatulistiwa yang tidak lain dan tidak bukan adalah Indonesia. Indonesia sendiri mulai terinfeksi virus ini pada awal bulan Maret 2020 dimana kasus ini berawal dari  ditemukannya dua pasien positif Covid 19 di Depok, Jawa barat. Kasus ini bermula ketika salah seorang dari pasien tersebut telah melakukan kontak langsung dengan teman dekatnya yakni warga negara Jepang pada saat pesta dansa. Hingga dari situlah mulai muncul korban-korban yang terjangkit virus corona lainnya dan menyebar di seluruh titik di Indonesia yakni dari Sabang sampai Merauke. Adanya pandemi corona yang mencekam ini tidak hanya menimbulkan dampak buruk dalam bidang kesehatan saja, akan tetapi pandemi ini menimbulkan berbagai dampak hampir di seluruh bidang kehidupan manusia seperti bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia pun segera mengambil tindakan. Sejak munculnya kasus pertama tersebut, pemerintah langsung bekerja sama dengan kementerian Kesehatan untuk melakukan berbagai upaya demi penanggulangan wabah covid-19 ini salah satunya dengan memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga seluruh kegiatan yang dilakukan di luar rumah harus dihentikan sampai pandemi mereda. Adapun usaha yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penularan infeksi Covid-19 adalah dengan menghimbau dan mewajibkan masyarakat untuk selalu menggunakan masker ketika bepergian, memberlakukan jarak sosial dan jarak fisik (social distancing and physical distancing), serta meminta masyarakat untuk rajin mencuci tangan dengan sabun dan membersihkan diri, makan makanan yang sehat dan bergizi, selain itu juga membersihkan permukaan benda-benda dengan cairan disinfektan agar tidak ada virus yang menempel pada benda-benda yang sering kita sentuh.

Adanya pandemi corona mengharuskan masyarakat untuk bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan-perubahan sosial yang ada demi memutus rantai penyebaran virus covid-19 ini. Memang terkadang perubahan itu tidak selalu menyenangkan. Namun, apabila perubahan yang dilakukan itu bertujuan positif, maka kedepannya kita akan mendapatkan hasil yang positif pula tentunya bila dilaksanakan dengan baik dan benar. Jika sebelumnya kita dapat bebas berkumpul atau bermain di tengah keramaian, maka sekarang masyarakat dihimbau untuk menghindari tempat-tempat keramaian, hal ini diwujudkan dengan melaksanakan ibadah di rumah, bekerja dari rumah (work from home) dengan memanfaatkan media meet conference, bahkan tempat-tempat yang dianggap memicu keramaian pun ditutup seperti kantor-kantor, mall, swalayan, supermarket, restoran, caffe, hingga sekolah dan perguruan tinggi juga ditutup. Alhasil, seluruh kegiatan yang biasanya dilakukan di luar rumah menjadi terhambat. Nasib ibu pertiwi seolah-olah seperti kota mati yang ditinggal penghuni. Seakan ingin menjerit namun tidak mampu berkutik.

Lahirnya suatu kebijakan untuk menjaga jarak sosial dan jarak fisik guna menghambat penyebaran virus yang menjadi momok ini menyebabkan pemerintah dengan penuh keyakinan mengeluarkan kebijakan melalui kementerian Pendidikan dan kebudayaan, yakni kebijakan berupa program Belajar dari Rumah (BDR) atau pembelajaran yang dilakukan di dalam jaringan (daring) dengan menggunakan teknologi atau media online. Program Belajar dari Rumah ini berlaku untuk seluruh jenjang Pendidikan yakni mulai dari pendidikan tingkat TK, SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi. Pelaksanaan pembelajaran daring ini bertujuan untuk menghindari adanya kontak fisik yang dapat menyebabkan merambatnya penyebaran virus. Sistem pembelajaran daring (dalam jaringan) adalah suatu sistem pembelajaran yang dilaksanakan tanpa tatap muka secara langsung antara guru dan siswa yang dilaksanakan melalui media online dengan menggunakan jaringan internet dan rangkaian elektronik lainnya untuk digunakan dalam menyampaikan materi pembelajaran, berinteraksi antar satu sama lain selama kegiatan belajar dan mengajar, serta fasilitas yang didukung oleh berbagai bentuk layananan belajar lainnya. Aktifitas pembelajaran daring merupakan suatu solusi untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar selama pandemi yang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Meskipun tidak seefektif sistem pembelajaran di luar jaringan (offline) karena banyak kendala seperti gangguan sinyal, minimnya kuota, dan tidak semua orang punya gadget, namun setidaknya dengan diberlakukannya pembelajaran daring ini tidak membuat kegiatan belajar dan mengajar mati total.

Berbicara mengenai pembelajaran dalam jaringan atau yang lebih sering disebut oleh para mahasiswa dengan kuliah online ini ternyata menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mahasiswa ada yang merasa lebih senang untuk kuliah online karena berbagai alasan misalnya, dengan kuliah online bisa tinggal bersama keluarga di kampung karena, jika kuliah offline mereka harus ngekos, jauh dari orang tua, dan tentunya banyak mengeluarkan biaya. Tidak hanya itu, mereka juga mengatakan kuliah online tidak perlu pusing memikirkan outfit lantaran di zoom hanya bagian kepala saja yang tampak, alasan lainnya mereka senang kuliah online karena bisa kuliah sambil rebahan bahkan bisa ditinggal tidur, selanjutnya ada yang mengatakan kuliah online enak bisa nyontek di google saat ujian. Ada juga yang bilang selama kuliah online nilai mereka jadi lebih bagus karena belajar di rumah menjadi lebih fokus, dan masih banyak lagi alasan lainnya mulai dari alasan yang positif hingga alasan yang nyeleneh. Akan tetapi di satu sisi ada pula sebagian mahasiswa yang tidak suka dengan sistem pembelajaran online ini lantaran mereka harus beradaptasi dan menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan misalnya, bagi mereka yang tinggal di daerah pelosok sebagian dari mereka tidak bisa mengikuti perkuliahan dengan maksimal karena kesulitan sinyal, kemudian ada yang tidak punya gadget yang memadai untuk kuliah online, selain itu ada yang tidak bisa fokus jika harus kuliah online karena di rumah mereka sering disuruh untuk membantu orang tua bekerja, menjaga warung dan adik, dan mengerjakan segala pekerjaan rumah lainnya. Selain itu, ada juga yang merasa kesulitan memahami pelajaran yang diberikan sebab tidak jarang dosen hanya hadir untuk memberikan materi dalam bentuk dokumen dan menyuruh mahasiswa untuk belajar mandiri. Belum lagi tugas-tugas yang diberikan dari dosen satu dan dosen lainnya yang berdatangan silih berganti bagai petir di siang bolong. “Materi saja tidak paham, bagaimana bisa mengerjakan tugas?” Mungkin begitulah kira-kira rungutan para “mahasiswa ambis” yang semangat “ambisnya” mulai menurun saat kuliah online. Tidak jarang fenomena kuliah online ini dijadikan bahan gunjingan yang bermaksud untuk menyindir beberapa pihak seperti yang dilakukan oleh salah seorang warga twitter yang memiliki akun bernama @worstfeeling214, dalam cuitannya ia menulis, “Bayar UKT mahal-mahal 8 juta tapi kuliahnya cuman baca PPT doang, ya mending beli PS5 aja gitu maksud sendernya.” Dan masih banyak lagi cuitan lainnya yang menggelitik namun menusuk dari para warga sosial media.

Adanya perubahan metode pembelajaran ini menuntut para mahasiswa untuk mampu beradaptasi. Namun bukan berarti dosen dapat bertindak semena-mena dan berpikir bahwa dengan memberikan tugas dan menghimbau untuk mengisi absensi saja, maka kewajiban belajar dan mengajar sudah selesai. Sebenarnya para dosen harus mampu beradaptasi pula sehingga dapat menciptakan keseimbangan antara dosen dengan mahasiswa selama proses kegiatan belajar dan mengajar, mungkin dengan cara membangun suasana kelas agar lebih hidup dan interaktif meski hanya melalui media online ataupun dengan cara lainnya agar lebih efektif. Awalnya mungkin sulit untuk beradaptasi dan menciptakan suasana seperti itu namun, lebih sulit lagi orang tua mereka yang setiap hari memeras keringat demi anak-anaknyaa untuk tetap bisa berkuliah. Terlebih lagi banyak dari orang tua mereka yang kehilangan pekerjaan selama pandemi namun harus tetap membiayai anak-anak mereka kuliah. Mungkin hal tersebut patut direnungi oleh para tenaga pendidik khususnya dalam hal ini para dosen. Bahwasanya, mahasiswa mereka memiliki hak untuk belajar dengan maksimal di kelas sebab pada kenyataannya belum semua mahasiswa dapat beradaptasi dengan mudah pada kondisi yang runyam seperti ini dan tidak heran jika banyak mahasiswa yang mengalami masalah stress.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rifa Fauziyyah, Rinka Citra Awinda, dan Besral pada tahun 2021, menyatakan bahwa, faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stress atau disebut dengan stressor yang dihadapi mahasiswa selain adanya berbagai perubahan metode belajar yaitu diantaranya kekhawatiran akan kesehatan keluarga dan diri sendiri, kekhawatiran ekonomi, penundaan akademik, terbatasnya interaksi sosial, lapangan pekerjaan yang berkurang, dan faktor-faktor lain pada kehidupan pribadi mahasiswa. Hal ini juga sesuai dengan beberapa penelitian lainnya yang menyatakan bahwa faktor tuntutan internal dan eksternal yang dialami mahasiswa dapat menyebabkan stress. Stressor yang dihadapi mahasiswa diantaranya masalah ekonomi, kekhawatiran tentang masa depan yang tidak jelas, masalah dan peluang sosial, harapan akan dirinya sendiri, jarak jauh dari orang tua dan sanak saudara, serta permasalahan pribadi lain. Adapun faktor lainnya yakni faktor akademik juga menyumbangkan potensi stres, misalnya karena perubahan gaya belajar dari sekolah menengah ke pendidikan tinggi, tugas-tugas perkuliahan, target pencapaian nilai, serta prestasi akademik. Tingkat stres yang meningkat di kalangan mahasiswa dapat mengakibatkan penurunan prestasi akademis dan dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mahasiswa. Stres dan kecemasan yang dialami seseorang pada masa pandemi yang tak kunjung berkesudahan ini ditentukan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecepatan dan cara seseorang beradaptasi seperti, usia, kepribadian, kondisi fisik, pengalaman, proses belajar, dan lingkungan. Kemampuan adaptasi seseorang juga dapat berperan guna mencegah timbulnya rasa stres dan cemas dan menentukan bagaimana seseorang menentukan cara untuk menangani perasaan-perasaan negatif yang muncul ketika dihadapkan dengan tantangan atau tekanan.

Kemudian, penelitian lainnya yang dilakukan oleh Aulia Kirana dan Wahyu Juliartiko menyatakan bahwa, kendala serta kekurangan dari pembelajaran daring juga banyak dihadapi baik oleh tenaga pengajar maupun peserta didiknya. Hal ini biasanya sangat berkaitan dengan peserta didiknya yang mencoba untuk memhami dan mempelajari isi dari kegiatan belajar yang mereka lakukan. Kendala tersebut antara lain masalah teknis yang umumnya sering terjadi akibat errornya server, kendala koneksi internet dan semacamnya. Kemudian, dari sisi ketersediaan bahan pembelajaran, hal ini akan menjadi kendala apabila bahan pembelajaran tersebut sulit diakses. Pada akhirnya permasalahan pembelajaran daring ditambah dengan tuntutan dari lembaga pendidikan untuk tetap memenuhi standarisasi nilai yang telah ditetapkan juga menjadi sebuah masalah bagi mereka dalam belajar yang mengakibatkan mereka mengalami stres. Beberapa kendala dan masalah tersebutlah yang akhirnya menjadi stressor akademik bagi mereka. Perlu diketahui bahwa, secara umum stress akademik adalah stress yang ditimbulkan dari tuntutan akademik yang melampaui kemampuan adaptasi dari individu yang mengalaminya sehingga dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, ketegangan, dan perubahan tingkah laku. Bakhsh dan Sayed menyatakan stressor akademik yang dialami oleh mahasiswa tidak terbatas dari pembelajaran daring saja namun juga termasuk sistem semester, masalah finansial dan sumber daya yang tidak efisien untuk melakukan kegiatan akademik. Stress yang mereka hadapi berdampak pada kegiatan akademiknya.

Menurut Sun, Dunne dan Hou terdapat lima aspek stress akademik, yaitu: 

  1. Tekanan Belajar

Tekanan belajar berkaitan dengan tekan yang dialami individu ketika sedang belajar di sekolah dan di rumah. Tekanan yang dialami oleh individu dapat berasal dari orang tua, teman sekolah, ujian di sekolah serta jenjang pendidikan yang lebih tinggi 

  1. Beban Tugas

Beban tugas berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan oleh individu di sekolah. Beban yang dialami individu berupa pekerjaan rumah (PR), tugas di sekolah dan ujian/ulangan.

  1. Kekhawatiran terhadap Nilai

Aspek intelektual berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru. Aspek ini juga berkaitan dengan proses kognitif individu. Individu yang sedang mengalami stres akademik akan sulit untuk berkonsentrasi, mudah lupa dan terdapat penurunan kualitas kerja.

  1. Ekspektasi Diri 

Ekspektasi diri berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memiliki harapan atau ekspektasi terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki stres akademik akan memiliki ekspektasi yang rendah terhadap dirinya sendiri seperti merasa selalu gagal dalam nilai akademik dan merasa selalu mengecewakan orang tua dan guru apabila nilai akademis tidak sesuai dengan yang diinginkan.

  1. Keputusasaan

Keputusasaan berkaitan dengan respon emosional seseorang ketika ia merasa tidak mampu mencapai target/tujuan dalam hidupnya. Individu yang mengalami stres akademik akan merasa bahwa dia tidak mampu memahami pelajaran serta mengerjakan tugas−tugas di sekolah.

Munculnya fenomena stress akademik ini mengakibatkan timbulnya kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh kalangan peserta didik. Contoh kasus bunuh diri yang dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diduga diakibatkan karena depresi akibat banyaknya tugas belajar daring selama pandemi Covid-19 adalah kasus seorang siswa MTs di Tarakan, Kalimantan Utara. Siswa yang dikenal pendiam tersebut bunuh diri pada bulan Oktober 2020, dan polisi mengatakan siswa itu pernah mengeluh karena banyaknya tugas dari sekolah. Namun, pihak sekolah membantah hal tersebut dikarenakan tugas sekolah bukanlah suatu hal yang menjadi alasan anak itu bunuh diri melainkan masalah keluarga. Contoh kasus lainnya adalah seorang siswi di Gowa, Sulawesi Selatan diduga oleh polisi melakukan bunuh diri dikarenakan mengalami depresi selama belajar daring. Akan tetapi, hal tersebut dibantah oleh dinas pendidikan setempat karena menurut mereka kasus bunuh diri yang dialami oleh siswi tersebut dipengaruhi oleh motif percintaan. Hal tersebut membuat komisioner KPAI bidang pendidikan, yakni Retno Listyarti, mengatakan bahwa faktor bunuh diri seorang anak tidak pernah terdiri dari satu persoalan saja sebab, ada banyak faktor yang kemudian berakumulasi yang pada akhirnya membuat orang merasa tidak berdaya atau tidak punya tujuan hidup. Menurutnya, kasus bunuh diri tersebut juga dapat terjadi diakibatkan oleh indikator belajar jarak jauh atau belajar daring yang menjadi penyebabnya. Ia juga menyesalkan bahwa kasus bunuh diri anak seringkali dianggap hanya masalah anak yang bersangkutan. Memang setiap orang berbeda-beda. Tidak semua anak dapat melewati atau memecahkan masalah yang ada. Sebab, wajar bila peserta didik mengalami stress karena ketika belajar di rumah, hal ini dikarenakan peserta didik dibatasi secara sosial, terkurung di rumah, dan terkadang membuat temperamen karena ada tekanan belajar juga keadaan emosi yang naik turun. Kondisi ini juga membuat beberapa peserta didik mencari pelarian. Ada yang melakukan pelarian dengan melakukan hal-hal positif dan menyenangkan misalnya membuat konten kreatif di tiktok, membaca komik, bermain game online, dan lain sebagainya. Sementara di sisi lain, beberapa peserta didik melakukan pelarian dengan mengambil jalan yang buruk seperti menyakiti diri sendiri, yakni dengan melakukan bunuh diri. Hal ini menjadi hal yang penting untuk menjadi perhatian bersama bagi guru-guru BK atau organisasi bimbingan konseling yang ada di kampus maupun di sekolah untuk aktif memantau kesehatan mental para peserta didik selama masa pandemi.

Menurut tokoh sosiolog Emile Durkheim dalam teorinya tentang bunuh diri menyatakan bahwa tingkat integrasi sosial memiliki hubungan yang erat terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri (suicide). Durkheim memandang bahwa fenomena bunuh diri sebagai tindakan individu yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sosial. Faktor sosial begitu mempengaruhi seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Gejala-gejala sosial sangat berpengaruh dalam diri individu ketika mempunyai hubungan sosial dalam masyarakat. Setiap bentuk integrasi sosial yang kurang atau berlebihan akan mempengaruhi terhadap tindakan yang dilakukan oleh manusia. Tidak hanya itu, adanya aturan yang tercipta, baik yang sangat kuat atau yang melemah pun memiliki dampak tersendiri bagi masyarakat. Durkheim kemudian merumuskan empat tipe bunuh diri yakni sebagai berikut:

  1. Egoistic Suicide, adalah tipe bunuh diri yang terjadi karena tingkat integritas masyarakatnya lemah dan lebih mementingkan ego individu. Hubungan sosial yang dilakukan dalam masyarakat atau sebuah kelompok yang dimilikinya tidak begitu mengikat. Dirinya merasa segala bentuk pengaruh sosial yang datangnya dari luar kurang dapat menerimanya dengan baik. Segala aktivitas dilakukan tidak dapat melibatkan secara langsung kepada keluarga, teman sebaya, kelompok, atau pun masyarakat. Bunuh diri yang terjadi karena adanya tingkatan individualistik yang berlebihan. Meskipun adanya lingkungan sosial yang mendukung, tetapi jiwanya apatis. Tidak serta merta dalam sebuah keadaan sosial yang menghinggapinya.

  2. Altruism Suicide, adalah tipe bunuh diri karena tingkat integritas masyarakatnya sangat kuat. Jiwa solidaritas dari manusianya sangat tinggi, sehingga aturan-aturan yang diciptakan dalam kelompoknya akan diikuti. Menjalin hubungan sosial yang sangat kuat, keinginan-keinginan dari lingkungannya akan diwujudkan. Ikatan dalam sebuah kelompok adalah sense of belonging, jika ada anggotanya yang sakit maka sakit juga yang lainnya.

  3. Fatalistic Suicide, adalah tipe bunuh diri karena sangat kuatnya nilai dan norma di tengah-tengah masyarakat atau yang diciptakan negara, sehingga sebagai individu segala sesuatunya sangat dibatasi.  Misalnya di negara-negara komunis.

  4. Anomie Suicide, adalah tipe bunuh diri karena melemahnya nilai dan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat. Keinginan dan kebutuhan manusia menjadi terhambat karena keadaan yang selama ini sudah mapan tergantikan dengan keadaan yang baru. Adanya perubahan yang tidak biasa menjadi sesuatu diluar batas menyebabkan frustasi bagi masyarakat. Perubahan-perubahan yang mendadak dalam masyarakat, seperti krisis ekonomi, politik, hukum akan membawa masyarakat kearah keresahan. Fungsi yang selama ini didambakan menjadi berubah, hilangnya pegangan hidup dalam masyarakat menjadi sebuah dilematis tersendiri. Salah satu contohnya adalah fenomenan pandemi Covid-19 menyebabkan banyak perubahan besar.  Pembelajaran tatap muka berubah menjadi daring.  Bagi peserta didik yang tidak tahan dengan kondisi ini, seperti penjelasan di atas akhirnya menempuh jalan pintas dengan bunuh diri. Saat ini Indonesia berada dalam keadaan anomie, dimana melemahnya sistem nilai dan norma karena perubahan dengan adanya bencana Covid-19.  Kebersamaan dan kekuatan masyarakat harus mampu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang paling sering dialami oleh para peserta didik adalah perasaan cemas dan panik. Perlu diketahui bahwa stress mental menimbulkan gangguan kesehatan fisik seperti sakit kepala, kelelahan, insomnia, dan denyut jantung meningkat. Para peserta didik merasa tugas pembelajaran yang diberikan lebih banyak dan harus dikerjakan dengan waktu yang lebih cepat dari kuliah biasanya. Stress semakin bertambah ketika hanya melakukan kegiatan yang sama secara terus-menerus dirumah saja. Seringkali peserta didik mengalami stress hingga jatuh sakit bahkan sampai bunuh diri. Para peserta didik sebaiknya dapat mengelola stress sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya antara lain dengan melakukan rekreasi ke tempat yang lebih damai untuk menenangkan diri, melakukan relaksasi seperti latihan yoga atau sekedar mendengar alunan musik terapi. Selain itu, peserta didik dapat mengambil waktu istirahat sejenak dari kesibukan dan diganti dengan aktifitas hobby seperti menonton film, mencoba resep-resep masakan yang baru, berenang, dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga, teman, dan sahabat. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memanajemen stress yaitu dengan terus menjaga hubungan sosial bersama keluarga dan teman, mengatur pola tidur yang cukup, mengurangi makanan instan dan memperbanyak makan makanan sehat, melakukan olahraga dengan rutin, mengatur schedule harian dengan baik, memberikan waktu kepada diri sendiri untuk istirahat sejenak, dan mencari tahu gejala stress dalam diri sendiri serta segera mencari pertolongan apabila dirasa tidak mampu untuk mengatasinya. Dari tulisan ini, maka diharapkan seluruh peserta didik agar bisa tetap semangat menjalani kegiatan belajar dan mengajar dengan sistem dalam jaringan sehingga dapat terlahir bibit-bibit yang sukses di masa depan bukan yang stress di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal dan Skripsi

Biroli, Alfan. 2018. Bunuh Diri Dalam Perspektif Sosiologi. Jurnal Simulacra. 1(2), 213-223.

Fauziyyah, Rifa, Rinka Citra Awinda, dan Besral. 2021. Dampak Pembelajaran Jarak Jauh terhadap Tingkat Stres dan Kecemasan Mahasiswa selama Pandemi COVID-19. Jurnal Bikfokes. 1(2), 113-123.

Kirana, Aulia, dan Wahyu Juliartiko. 2021. Self-Regulated Learning Dan Stres Akademik Saat Pembelajaran Daring Di Masa Pandemi Covid-19 Pada Mahasiswa Universitas X Di Jakarta Barat. Jurnal Psikologi. 14(1), 52-61.

Lubis, Hairani, Ayunda Ramadhani, dan Miranti Rasyid. 2021. Stres Akademik Mahasiswa dalam Melaksanakan Kuliah Daring Selama Masa Pandemi Covid 19. Jurnal Psikologi. 10(1), 31-39.

Putri, Rahma Qamara Delmi. 2018. Kesehatan Sosial-Emosional dan Stress Akademik Pada Siswa Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Balikpapan. Skripsi. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Program Studi Psikologi, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Website

BBC News Indonesia. (2021, 18 Februari). Covid-19: 'Stres, Mudah Marah, Hingga Dugaan Bunuh Diri', Persoalan Mental Murid Selama Sekolah Dari Rumah. Diakses Pada 9 Desember 2021, dari https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-55992502.amp

Kesmas-id. (2021, 14 Januari). Kuliah Online Picu Stress Pada Mahasiswa?. Diakses Pada 9 Desember 2021, dari http://kesmas-id.com/kuliah-online-picu-stress-pada-mahasiswa/

Kompasiana. (2020, 4 November). PJJ dan Kasus Bunuh Diri Pelajar, Sebuah Tinjauan Sosiologis dan Keagamaan. Diakses Pada 9 Desember 2021 dari, https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/gurusabar/5fa24d828ede48487343a6c2/pjj-dan-kasus-bunuh-diri-pelajar-sebuah-tinjauan-sosiologis-dan-keagamaan

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments